Skip to main content

Budhiana Kartawijaya: Jurnalis Harus Kreatif

“Seorang jurnalis itu nggak boleh sama dengan kebanyakan orang,” begitu kata Budhiana Kartawijaya, seorang jurnalis senior yang pernah diamanahi sebagai Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat, Bandung. Budhiana pun berbagi perspektifnya menjadi seorang jurnalis, tentang bagaimana ia memulai, apa yang telah dilalui dan dipelajari, serta apa saja yang harus dihadapi.

Pengalaman di Dunia Jurnalistik
Kisah perjalanan Budhiana di dunia jurnalistik dimulai dari sebuah pertemuan tidak disengaja. Pertemuan tidak diduga-duga ini terjadi di sebuah masjid penuh sejarah yang telah berdiri sejak tahun 60-an, yakni Masjid Salman ITB. Budhiana yang saat itu berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di Universitas Padjadjaran cukup aktif berkegiatan di Masjid Salman. Awalnya, Budhiana tidak pernah terpikir untuk bergelut di dunia jurnalistik. Bahkan, cita-citanya adalah menjadi seorang astronom. Sampai suatu hari, dirinya seakan-akan ditakdirkan untuk mencicipi dunia jurnalistik. Ia bertemu dengan seorang jurnalis senior dari BBC yang menginspirasi dirinya untuk ikut bergabung dalam dunia jurnalistik. BBC sendiri adalah sebuah stasiun radio terkemuka di dunia.

Setelah mengobrol banyak dan dirasa nyambung, jurnalis BBC tersebut meminta Budhiana untuk menjadi pemandu dalam penelitian yang sedang ia tekuni. “Dia minta saya jadi guide kalau untuk wawancara. Misal, wawancara tokoh islam,” terang Budhiana. Benar, Budhiana selalu menemani jurnalis tersebut ke mana pun ia pergi melakukan wawancara dan menemui tokoh-tokoh di Bandung. Ada pun, topik penelitiannya ialah terkait gerakan Islam di Bandung.

Lambat laun, Budhiana menyadari bahwa ia mulai mengagumi sosok jurnalis ini. Menurut Budhiana, jurnalis BBC ini pandai sekali dalam menggali informasi. Pengetahuan sang jurnalis pun sangat luas, ia begitu memahami Bandung juga Indonesia. Ternyata, sebelum melakukan wawancara, jurnalis tersebut sudah melakukan riset yang mendalam tentang topik yang akan ia teliti. Tak hanya sampai di situ, Budhiana juga terkesima dengan kelihaian sang jurnalis dalam mengolah produk. Saat itu, ia heran dengan cara jurnalis tersebut menciptakan sebuah karya yang dipublikasi lewat radio dari hasil-hasil wawancara yang beragam. Keheranannya pun membuat dirinya tertarik untuk terjun di dunia jurnalistik.

Banyak proses yang telah ia lalui. Mulai dari bekerja di Pikiran Rakyat, mendapatkan beasiswa Thomson Reuters Foundation untuk melanjutkan studi di London, sampai menerapkan praktik jurnalisme itu sendiri di kancah internasional. Budhiana juga kerap terlibat dalam liputan-liputan bertajuk politik internasional dan konflik. Tak jarang, ia harus turun dalam peperangan untuk melakukan liputan. Misalnya, perang di Irak, Timor-Timor, dan Aceh.

Produk Jurnalistik Harus Unik
Meski sepak terjangnya sudah banyak, hal ini tidak membuat Budhiana berhenti belajar. Jurnalistik yang terus berkembang memacunya untuk terus belajar. Sebab, menghasilkan produk-produk jurnalistik bukan hal yang dapat dilakukan secara  sederhana. Baginya, pekerjaan jurnalis menuntut dirinya untuk senantiasa kreatif. Budhiana mengungkapkan, “Namanya news, ya harus new. News bisa juga (berarti) north, east, west, south. Berita itu harus datang dari mana saja.” Seorang jurnalis harus “pergi” ke berbagai tempat di dunia ini, baik ke utara, selatan, barat, maupun timur.

Jurnalis juga harus menghasilkan produk (tulisan) yang baru. Maksudnya, produk jurnalistik harus lah unik karena tidak ada pembaca yang mau mengakses informasi klise. Maka, jurnalis dituntut unik sejak dalam pikiran. Jika seorang jurnalis ingin menggali suatu kasus, ia harus mencari tahu terlebih dahulu apakah kasus ini sudah pernah diangkat atau belum.

Misal, seorang jurnalis ingin meninjau Kota Bandung. Jurnalis tersebut tidak boleh berpikir seperti orang umum, jurnalis harus dapat mengangkat apa yang orang-orang belum ketahui. Bahkan, sumbernya dapat diambil dari tempat sehari-hari yang dilalui. Jurnalis bisa saja melihat dari perspektif anak-anak, maka produk jurnalistik kreatif yang dihasilkan dapat berupa suatu kesimpulan yang menyatakan Kota Bandung bukanlah kota yang ramah dengan anak-anak (children friendly-red).

Dalam proses produksi ini, seorang jurnalis dilatih seni-seni dalam berpikir, di antaranya ada seni berpikir linier dan lateral. Linier artinya terletak pada garis lurus. Maksudnya, dari satu titik, ditarik lurus hingga mendalam. Sedangkan, lateral memiliki makna di sebal sisi; di sisi; ke sisi; ke pinggir. Sebuah produk jurnalistik tidak harus selalu linier alias mendalam. Produk jurnalistik harus lateral, yakni berpindah sudut pandang dan mencari yang beragam. Jurnalis, atau juga penulis, harus menggeledah suatu informasi dari berbagai sudut pandang, kemudian mengolahnya hingga menjadi sebuah produk yang unik dan berdampak.

Proses Menciptakan Produk Jurnalistik
Untuk menghasilkan suatu produk jurnalistik yang kreatif, seorang jurnalis tentu melalui proses yang panjang. Mulai dari memilih topik dan sudut pandang, pengumpulan data, penulisan, hingga publikasi. Selain pemilihan topik dan sudut pandang, pengumpulan data juga menjadi tahap yang krusial. Pengumpulan data bisa dilakukan dengan banyak metode, seperti: observasi langsung, pengadaan survei, wawancara, studi literatur, dsb.

Menurut Budhiana, salah satu metode pengumpulan data yang mulai banyak ditemui dalam proses jurnalistik adalah riset. Jurnalis harus mampu melakukan riset. KBBI daring sendiri mengartikan riset sebagai penyelidikan (penelitian) suatu masalah secara bersistem, kritis, dan ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta yang baru, atau melakukan penafsiran yang lebih baik. Para jurnalis di luar negeri kini telah membudayakan riset. Bahkan, jurnalis BBC yang dijumpainya dahulu di Masjid Salman ITB ialah seorang PhD (Doctor of Philosophy, gelar yang diberikan kepada seseorang setelah menyelesaikan penelitian mendalam di bidang studi tertentu-red). “Sekarang sudah eranya jurnalis yang analis,” tegas Budhiana saat diwawancara.

Budhiana juga menambahkan sebuah studi kasus terkait jurnalisme yang mengaplikasikan riset. Jika suatu hari terjadi peristiwa kecelakaan lalu lintas di Jalan Dago, berita yang umum ditemukan dalam media arus utama ialah berita kronologi kecelakaan tersebut. Kebanyakan berita pasti akan memuat 5W 1H (what, why, where, when, who, dan how). Bahkan, di abad 21 ini masyarakat umum atau yang kerap disebut netizen dapat mengabarkan peristiwa tersebut melalui media sosialnya secara lebih cepat. Sedangkan, jurnalis yang juga analis akan berpikir lebih jauh dan menyusun laporan mendalam, seperti mengaitkannya dengan statistik kecelakaan di tempat tersebut berikut konklusi penyebabnya.

Jurnalistik di Zaman Sekarang
Seperti yang telah disinggung pada paragraf sebelumnya, masyarakat yang dinamakan netizen “mengambil” pekerjaan para jurnalis dalam mengabarkan peristiwa terkini. Budhiana mengakui bahwa semua orang adalah jurnalis, semua orang adalah media. Lantas, persoalan lain kemudian muncul, apakah masyarakat paham dengan kode-kode etik jurnalistik? Apakah publik melakukan verifikasi seperti yang tertulis dalam elemen-elemen jurnalistik? Apakah publik paham bahwa itu hoax (berita bohong-red) atau bukan?

“Tantangan dari jurnalistik sekarang adalah dari netizen. Mereka tidak disentuh oleh kode-kode etik tentang menulis dan jurnalistik. Maka, timbul hoax,” jawab Budhiana ketika ditanya mengenai perbedaan jurnalisme di zaman dahulu dan sekarang. Mungkin media arus utama seperti Pikiran Rakyat, Kompas, Tempo, dll. tidak selalu akurat. Namun, media-media tersebut bekerja dengan prosedur verifikasi. Bagi Budhiana, media arus utama lebih terbuka. Segala hal yang dilaporkan kepada publik bisa dipertanggungjawabkan kebenaran. Pada dasarnya, kebenaran jurnalistik sendiri ialah kebenaran prosedur yang dilakukan; ada check & re-check dan cover both sides.

Sisi lainnya, di era seperti ini jurnalistik seharusnya semakin relevan. Sebab, masyarakat pun akhirnya dipaksa untuk mengembalikan jurnalistik sebagai fact checker. Mungkin, suatu saat nanti, masyarakat akan jenuh dengan hoax sehingga akan kembali ke jurnalistik. Tak hanya itu, para jurnalis juga dituntut untuk kreatif sehingga dapat menghidangkan produk yang berbeda. Kalau di kelas formal kita diajarkan bahwa berita harus memenuhi 5W 1H, kini di lapangan kita harus menerapkan 6W 1H. “W” yang terakhir ialah wow. “Kalau nggak WOW, ‘kan nggak unik,” ucap Budhiana.

Zaman akan terus berubah. Kebutuhan akan silih berganti. Mungkin, media publikasi produk jurnalistik akan berganti. Mungkin, koran akan mati karena kertas makin mahal. Sedangkan, hasil penjualan secara bertahap berkurang. Mungkin, televisi akan mati ditelan para selebritas di YouTube. Namun, satu hal yang pasti, jurnalistik tidak boleh mati. Jurnalistik harus senantiasa berkembang. Oleh karena itu, para jurnalis pun harus senantiasa belajar. Karena dengan belajar, para jurnalis akan senantiasa dididik dan diarahkan untuk menguasai lajunya zaman. Pada akhirnya, lahirlah jurnalis dengan gagasan-gagasan yang kritis, kreatif, dan inovatif.

Comments