Skip to main content

Cinta di Iduladha

Ini ceritanya ilustrasi*)

Hari ini adalah Hari Raya Iduladha.
Setidaknya, hari ketika aku mulai menulis ini bertepatan dengan 10 Dzulhijah 1440 Hijriah --11 Agustus 2019.

Berbicara soal Iduladha, hal yang terbayangkan olehku adalah soal cinta. Sekali-sekali lah yuk open-up (baca: secara eksplisit) ngobrolin cinta.

Kenapa cinta? Ada apa dengan cinta? Apa hubungan cinta dan Iduladha?
Tepat berabad-abad yang lalu, ada sebuah kisah cinta yang sangat menginspirasi sekaligus menamparku. Benar sekali, kisah cinta Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan Nabi Ismail 'alaihissalam.

Dalam Al-Quran --Surat As-Saffat ayat 102, diceritakan bahwa ketika Nabi Ismail menginjak dewasa dan sudah pantas mencari nafkah, Allah Swt. menguji Nabi Ibrahim dalam sebuah mimpi. Di mimpi itu Allah Swt. memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, yakni Nabi Ismail. Kemudian, Nabi Ibrahim meminta pendapat Nabi Ismail mengenai wahyu Allah Swt. tersebut --yang disampaikan melalui mimpi. Dan, tanpa berpikir panjang, Nabi Ismail pun mengiyakan. Ia menyatakan kepada ayahnya untuk mematuhi perintah Allah Swt.

Supaya afdal, mari dibaca ayat beserta artinya.


Artinya:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (Q.S. As-Saffat: 102)

Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail pun melaksanakan perintah Allah Swt. Karena keikhlasan dan keihsanannya, Allah Swt. kemudian mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba tepat saat Nabi Ibrahim sudah melekatkan pisau sembelih di leher Nabi Ismail. Hal ini dijelaskan dalam ayat-ayat selanjutnya, yakni Surat As-Saffat ayat 103 s.d. 111.









Artinya:
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”

Yup, Nabi Ibrahim bukan menyembelin Nabi Ismail, melainkan seekor domba yang besar. Sebab, Allah Swt. telah menggantikannya.

Menyimak cerita tersebut, aku pun jadi bertanya-tanya kepada diriku. Kira-kira apakah aku mau mengorbankan orang yang begitu berharga demi melaksanakan perintah Allah Swt.? Jangankan orang yang berharga, jikalau "taruhannya" hanya suatu barang, apa aku mampu?

Kondisinya saat itu adalah Nabi Ibrahim nggak tau bahwa Nabi Ismail akan diganti oleh domba. Nabi Ibrahim hanya merasa berkewajiban menjalankan perintah Allah Swt. dan takut akan siksa-Nya jika beliau melalaikannya.

Kondisinya adalah kita nggak tau kita akan mendapat apa jika kita mengorbankan sesuatu. Nggak ada jaminan apapun, kecuali Allah Swt. Basisnya hanyalah rasa cinta kita kepada Allah Swt, rasa takut kita terhadap murka-Nya. Basisnya adalah lillaahi ta'ala.

Sungguh, tidak ada cinta yang lebih indah daripada cinta karena lillaahi ta'ala --yang entah gimana wujud dan rasanya. Mungkin rasanya indah banget kalau kita sepercaya itu sama kehendak Allah Swt. Mungkin rasanya indah banget kalau kita berusaha sekuat tenaga tanpa mengharap hal-hal lain selain ridho Allah Swt. Mungkin rasanya indah banget kalau kita punya sesuatu atau seseorang, tetapi nggak takut merasa kehilangan karena kita selalu ingat kita punya Yang Lebih Besar dari semua itu.

Aku iri banget sama Nabi Ibrahim yang bisa sebegitu ikhlasnya mengorbankan putra tersayangnya, sebegitu percayanya sama Allah, dan sebegitu takutnya sama siksaan Allah Swt. Aku iri banget sama Nabi Ibrahim yang nggak takut kehilangan putra yang dicintainya. Karena apa? Karena dia lebih cinta sama Allah Swt. daripada putranya.

Buat siapapun yang baca ini, atau mungkin diri sendiri kalo lagi recalling memori, yuk mulai minta kepada Allah Swt. di setiap doa kita. Mulai minta untuk ditumbuhkan dan dijaga terus kecintaan kita kepada-Nya. Mulai minta diingatkan jika cinta kita kepada yang lain mengalahkan cinta kita kepada-Nya.

Aku pun sampai sekarang belum merasakan cinta kepada Allah Swt. yang kayak gitu. Bahkan, merasa sedekat seharusnya aja belum --aku aja sih yang suka ngejauh huhu. Tapi, aku punya keyakinan bahwa ketika aku mengalami itu, dunia pasti akan jauh lebih menenangkan. Urusan-urusan akan jauh lebih mudah. Akhirat tetap wallahu'alam. Mungkin ini terlalu berkhayal, sebab rasanya masih saaaaangat jauh dari itu. Pelan-pelan aja, nggak papa. Kalau kata pepatah Jawa, alon alon asal kelakon.

Iya, semua yang aku ceritakan abstrak banget. Konsep cinta emang abstrak, kepercayaan juga abstrak, perasaan lebih abstrak lagi. Tapi, aku yakin bahwa itu ada dan nyata.

Jadi, begitulah mengapa aku memberi judul post ini Cinta di Iduladha. Sebab, ada sebuah kisah cinta yang membuatku begitu iri, yaitu kisah cintanya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Oh ya, sebenarnya ada banyak cerita cinta yang bisa diteladani dari keluarga Nabi Ibrahim, seperti Nabi Ibrahim dan Siti Hajar, Nabi Ibrahim dan Siti Sarah, Siti Hajar dan Nabi Ismail. Silakan baca-baca di sumber yang terpercaya, insyaAllah insightful!

Tidak lupa mencantumkan sumber, sebab ada ilmu-ilmu yang tidak aku punya:
Al-Quran dan terjemahannya,
rumaysho.com, dan
theonlyquran.com

*) Maaf ilustrasinya buruk banget hahahaha lagi dikejar waktu dan lagi agak gak kreatif, tapi gereget pengen nulis karena too much in my head

Comments