Skip to main content

Sekelumit Kisah Konflik

I should've continued watching a movie titled Flatliners, but I was too scared LOL. Let's wait 'till the sun rises tomorrow.
Lalu, apa yang akan saya lakukan sekarang? Hmmm, simak aja deh.

Tahun ini, kurang dari 6 bulan lagi, saya akan menginjak usia 20 tahun. Memasuki masa kepala dua mungkin tak dapat lagi dimaklumi sebagai remaja. Saya seharusnya menjadi panutan, terutama bagi kedua adik saya. Nyatanya? I am not enough. Never be enough, actually. Ya karena hidup terus berkembang layaknya zaman. Sudah hampir seperlima abad saya jalani, perjuangkan kalau bahasa dramatisnya. 20 tahun bukan tahun yang singkat, banyak pengalaman yang seharusnya berharga untuk diceritakan. Ya, seharusnya. Sayangnya, tidak ada. I forget most of my experiences in my life, huh. Saya pun tidak tahu alasannya, apakah saya setidak peduli itu atau kemampuan otak saya yang minim. But, let's just blame myself for being kinda ignorant instead of insulting God's creation (read: my brain and its great abilities).

Satu hal yang saya ingat di hidup saya: kelancaran. Saya tidak bermaksud sombong, sumpah, tapi saya sangat bersyukur karena Tuhan selalu mempermudah urusan-urusan saya entah melalui cara apapun (biasanya orang tua). Saya bersyukur selalu berada di atas dan membanggakan orang tua dan keluarga besar, ya tak jarang juga mengecewakan. Intinya, saya selalu ditempatkan di zona nyaman. Sesekali memang terasa aneh, bahkan tidak betah, namun ternyata itu semua hanya masalah pembiasaan. Tak berarti apa-apa.

Saya memang tidak suka memicu konflik, lebih baik mengalah atau lebih tepatnya berbelok lari ketika konflik mulai tampak. Saya ingat saat pertama kali saya berdebat dengan Mama hingga saya menangis. Eh, sebetulnya bukan berdebat, melainkan berusaha melawan rasa takut terhadap Mama. Hehe. Begini ceritanya.

Mama adalah sosok yang disiplin dan tegas, sedangkan Bapak kebalikannya. Bapak ialah orang yang luwes dan santai. Karena kekontrasan kepribadian keduanya, saya pun takut dengan Mama. Rasa takut itu bertahan sampai, (entah saya tidak ingat pasti) asumsikan saja, kelas 2 SMP.  Waktu itu saya kelas 2 SMP dan sedang marak aliran musik KPop alias Korean Pop. Salah satu grup KPop favorit saya menyelanggarakan konser di Indonesia. Teman-teman saya sangat bersemangat untuk datang, saya pun tertular. Hehe, orang Indonesia emang sukanya latah. Saya belum pernah meminta hal secara gamblang ke Mama, apalagi meminta izin untuk menonton konser dengan harga tiket selangit. Meskipun saya memiliki uang tabungan jajan yang bisa saya pergunakan, saya tetap harus meminta izin 'kan? Ridho orang tua adalah segalanya.

Setelah beberapa waktu merenung dan mengumpulkan nyali, saya meminta izin dengan Mama. Mama tidak melarang sebetulnya, Mama juga tidak mengatakan apapun yang berkaitan dengan kekecewaan terhadap saya. Tetapi, saya tetap menangis sejadi-jadinya. Saya merasa bersalah, mungkin karena telah menghambur-hamburkan uang. Oh iya, saya membeli tiket dahulu baru meminta izin karena saya pikir akan lebih mudah mendapat izin dengan cara itu. Kembali lagi, saya menulis surat untuk Mama dan di surat itu tertulis: (seingat saya, ya)

Your Failed Child,
Rahma Rizky Alifia

Hmmm, saya memang sensitif (sebut saja cengeng, tak apa) dan emosional. Padahal, Mama tidak menyebut saya anak yang gagal. Memarahi pun tidak, namun saya merasa bersalah sampai-sampai merasa gagal. Gagal menjadi anak pertama. Gagal menjadi teladan adik-adik saya. Gagal membahagiakan Mama. Terkesan aneh memang. Oh ya, surat yang saya tulis tidak secara langsung diberikan ke Mama, melainkan saya taruh di lemarinya.

Poin pentingnya adalah sejak kejadian itu, rasa takut (yang tidak logis) saya terhadap Mama tergantikan menjadi rasa takut mengecewakan Mama. Sejak saat itu, saya lebih terbuka dengan Mama. Sejak saat itu, saya sadar bahwa rasa takut haruslah dilawan meskipun perlahan. Sejak saat itu, saya sadar bahwa hidup harus penuh tantangan. Sejak saat itu, saya sadar bahwa saya harus menjadi lebih kuat setiap harinya. Sejak saat itu, ucapan Mama selalu terngiang. Begini bunyinya, "Conflicts make us stronger.". Ya, saya butuh konflik.

SMP kelas 3 saya harus pindah dari Jakarta ke Semarang. Di Semarang saya tak kenal siapapun. Konflik kecil memang, tapi sungguh membantu saya belajar beradaptasi. Membantu saya mengenali sisi lain dari kehidupan putih biru. Di sini saya mengenal keragaman orang-orang dan belajar menghargainya. Kapan-kapan akan saya ceritakan.

Kemudian, saya memasuki SMA. Bisa dikatakan bahwa SMA yang saya masuki tidak sesuai harapan Mama dan Bapak. Saya mulai mengecewakan mereka. Sedih memang, apa daya. Namun, ternyata Tuhan 'mengangkat' kembali keadaan saya sehingga orang tua saya kembali senang. Saya pindah SMA, masih satu kota. Banyak gejolak yang saya rasakan kala perpindahan itu sebab saya yang sangat sensitif dan (masih) penakut. Lagi-lagi, saya akan ceritakan ini di kemudian hari.

Saya pindah ke SMA favorit dan menjadi siswi rajin hingga akhirnya masuk ke perguruan tinggi idaman. Perguruan tinggi yang bahkan tidak pernah saya impikan ini ialah Institut Teknologi Bandung (ITB). Bohong. Saya berbohong, saya pernah memimpikan ITB. Saya memimpikan menjadi mahasiswi ITB ketika saya duduk di bangku kelas 12 semester 2.

Senang dan bangga memang bisa lolos STEI ITB lewat SBMPTN setelah kerumitan kasus SNMPTN yang terjadi di SMA. Tetapi, perasaan itu tak lama bertahan. Rasa beban dan takut menyusul dan menggantikan kebahagiaan. Beban karena memikul kepercayaan yang begitu besar dan takut akan kehidupan ke depan yang akan saya jalani. Di benak saya hanya ada, "Aku takut ngga bisa survive. Kenapa bisa keterima sih? Emang pantas?". Silakan hujat saya karena saya pantas dihujat. Saya seharusnya bersyukur, tetapi malah mengeluh dan mengelak rezeki.

Mari lompat ke kehidupan di ITB. Saya kini memasuki semester keempat di prodi Teknik Biomedis. Kehidupan di ITB mengajarkan saya untuk tidak berekspektasi, tetapi harus terus bersyukur. Kampus dengan lambang Ganesha mengajarkan saya bahwa segala hal perlu diperjuangkan. Untuk lulus dari sini saya perlu berjuang, bahkan lebih keras, dari usaha saya memasuki kampus ini. Saya memang bukan alumni, bukan mahasiswi berprestasi, bukan mahasiswi dengan IP tinggi, dan bukan aktivis yang bervisi. Namun, saya sadar sepenuhnya bahwa ketika saya masuk kampus ini.. bukan lagi soal pantas atau tidak pantas, mampu atau tidak mampu, membuat bahagia atau kecewa, melainkan tentang perjuangan. Begitu pula dengan hidup.

Mungkin saya tidak pantas hidup. Mungkin banyak orang yang sudah pergi atau tak pernah lahir akan memiliki hidup yang lebih berarti daripada diri saya. Mungkin saya mampu melanjutkan hidup sampai ajal menjemput. Mungkin saya sering mengecewakan orang tua. Mungkin saya kini berada di titik terpuruk. Atau mungkin sebetulnya saya sedang di atas, memperoleh banyak hal yang saya butuhkan. Enyahlah. Saya tidak seharusnya peduli dengan kondisi saya. Saya seharusnya fokus dengan esok hari, bukan kini apalagi lalu. Saya berkewajiban bertanggung jawab untuk menyelesaikan apa yang telah saya pilih, apa yang telah saya mulai.

Untuk kamu (juga saya) yang sebentar lagi dianggap benar-benar dewasa, jangan berhenti berjuang. Berjuang menghadapi konflik-konflik yang akan terus menghadang. Tuhan punya beragam cara untuk memudahkan urusan-urusanmu, salah satunya dengan menguatkan dirimu dan orang-orang di sekitarmu.

Conflicts gonna make us stronger, no matter how small it is. God sends conflicts because He wants us to be stronger, then we ready to face Satan.

Ditulis oleh Riris yang berusaha menenangkan diri karena 2 hari lagi masa perkuliahan dimulai.

Btw, semoga di lain kesempatan aku bisa bikin travelling post ya haha. Pengen banget sebetulnya kalo H+3 family trip, tapi sering mager. Alhasil, lama kelamaan memori trip dengan detail schedule melenyap dalam lupa.

Comments