Skip to main content

Aku dan Lombok: Tentang Sahabat Baru

Masih tentang Lombok, masih terkait dengan Global Health True Leaders (GHTL).

GHTL 2.0 - Batch 2018, Mandalika Jaya
Sebelum tulisan ini dilanjutkan untuk dibaca, mari teman-teman kita luangkan waktu sebentar untuk mendoakan saudara-saudara di Lombok, Bali, dan sekitarnya atas gempa bumi yang bertubi-tubi menghampiri. Semoga saudara-saudara di sana senantiasa diberi kekuatan, ketabahan, dan keikhlasan. Semoga musibah yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan di Indonesia, bahkan dunia, dapat segera berakhir. Semoga saudara-saudara di sana dapat segera beraktivitas seperti biasa, tanpa rasa takut maupun trauma. Serta semoga-semoga lainnya.

Kata orang, selain pengalaman, hal terbaik yang bisa kamu dapatkan dari sebuah kegiatan yang melibatkan banyak orang ialah relasi. Sama halnya dengan di sini, di GHTL. Selain pengalaman yang telah kusebut di post sebelumnya, aku juga mendapat sahabat-sahabat baru. Mendapat teman baru sejatinya lebih dari memperoleh relasi. Mendapat teman baru berarti mendapat persepsi baru, pengalaman baru, ide-ide baru, dan rumah baru. Sepertinya hal-hal baru yang diperoleh dari seorang teman tidak perlu aku jelaskan lebih lanjut, sebab aku yakin semua mengerti maksud tersebut.

Aku ingat persis saat itu tanggal 15 Juli 2018 aku tiba di Bandara Internasional Lombok, Praya dengan membawa koper besar berwarna merah tua dan menggendong ransel yang mungkin membuatku terlihat keberatan. Secara tidak sadar aku memasang wajah kebingungan sehingga memancing banyak sopir taksi menawarkan untuk mengantarku ke tempat tujuan. Kalau boleh jujur, keputusan untuk pergi ke Lombok dan mengikuti kegiatan ini adalah keberanian yang tidak terduga dari seorang Rahma Rizky Alifia. Aku tidak pernah pergi ke luar pulau sendirian (tanpa bersama keluarga atau teman), terlebih selama 8 hari. Satu hal lagi, aku belum pernah ke Lombok.

Oh ya, di Bandara Soekarno Hatta (bandara keberangkatan) aku bertemu dengan ibu-ibu agak muda rentang usia 30 tahun, sebut saja Tante, dan mengobrol dengannya. Beliau mengaku orang asli Lombok. Beliau bilang bahwa tempat tujuanku tidak jauh dari bandara, bisa dengan jalan kaki. Nah, aku sempat memikirkan saran si Tante, tapi setelah melihat dari Google Maps...... ku buang jauh-jauh saran tersebut, hehehe.

Daripada bertambah kebingungan, aku pun mencoba mengontak panitia dan menunggu jemputan. Akhirnya, jemputan datang dan aku bertemu seorang teman baru. Hore. Namanya Reni, aku memanggilnya Kak Reni. Kak Reni adalah lulusan S1 Farmasi Universitas Muhammadiyah Malang, ia bekerja di UMM sebagai asisten lab (cmiiw). Kini ia tengah mempersiapkan pendidikan lanjutannya, yakni profesi apoteker. Doakan ya!

Pertemuanku dengan Kak Reni membuatku lega. Lega karena akhirnya aku punya teman, setidaknya bisa menjadi orang yang aku cari ketika aku sedang tidak ingin sendiri. Aku memang bukan tipe yang bisa dengan mudah membaurkan diri ke dalam suatu kerumunan atau mengajak berkenalan satu dua tiga orang. Aku bisa jika terpaksa, dan membuatku merasa terpaksa itu butuh usaha.

Setelah bertemu Kak Reni, di tempat kegiatan aku bertemu dengan Kak Cici. Wah, satu teman baru lagi hehe. Alhamdulillaah. Bagiku teman dapat memberikan energi positif, salah satu bentuknya adalah keberanian. Memang bukan keberanian yang besar, melainkan sebatas mengurangi kecemasan. Ya, kecemasan bahwa aku tidak bisa survive selama 8 hari ke depan berkurang. Maaf jika berlebihan hehehe. My insecurities sometimes haunt me and people around me.


Tangan 6 anggota grup Integrity
Aku menjejakkan kaki di Lombok pertama kali sekitar jam 2 siang, sedangkan acara baru dimulai jam 7 malam waktu setempat. Tak lama setelah acara berlangsung, para peserta langsung dibagi menjadi 8 kelompok: Curiousity, Innovation, Integrity, Diversity, Wisdom, Responsibility, Vision, and Respect. Nah, kalau aku sendiri tergabung dalam kelompok Integrity. Well, Integrity itself consists of me, Nida, Sirli, Icha, Upik, and Joseph. Our background, or call it our major, is different. There are Public Health, Pharmacy, Medical Doctor, also (my major) the one and only Biomedical Engineering.

Informasi sedikit, meskipun mungkin tidak penting. Salah satu alasan kenapa aku cemas tidak bisa survive adalah karena aku berlatar belakang engineer. Aku, satu-satunya, yang hampir tidak pernah mempelajari (dalam sistem pendidikan formal ya) kesehatan manusia dan masyarakat dari sisi kemanusiaan. Lalu, hal yang aku pelajari adalah kesehatan manusia dari sisi teknologi. Contoh sederhananya ialah jika para peserta mengartikan AI sebagai Avian Influenza, aku mengartikannya berbeda. Saat mendengar AI untuk pertama kali yang terlintas di pikiranku adalah Artificial Intellegence. Ya, begitu lah.

Hari pertama banyak diisi dengan pemaparan dan tanya jawab sehingga interaksi dengan kelompok atau teman-teman lain tidak begitu banyak. Di hari pertama aku berusaha bersahabat dengan bahasa Inggris. Tidak mudah rupanya mendengarkan seminar ilmiah berbau kedokteran/ kesehatan masyarakat dengan bahasa asing. Mungkin wawasanku sangat kurang, sebab banyak istilah-istilah yang sangat jarang atau bahkan tidak pernah aku dengar di seminar ini. Salah satunya, epidemilogi.

Hari kedua agak berbeda. Kegiatan banyak dilakukan berkelompok; diskusi dengan kelompok dan hasilnya dipresentasikan di depan umum. Think fast and speak effectively were my new friends on this day, I should've got along with them. Beruntung, teman sekelompokku, yaitu Joseph, sudah bersahabat karib dengan dua hal ini. Joseph was so amazing and experienced, I guessed. My guessing was right, then. Joseph was one of Mr. Philippines' candidates (if i am not mistaken) and he gets used to doing everything fast. He joined a debate club in his university, so that he learned a lot there. And I learned a lot from him.

Hari kedua cukup melelahkan, tetapi menyenangkan. Aku lebih mengenal rekan-rekan satu grupku. Aku menjadi lebih tenang karena mereka 'mau menanggung' beban (aku-red). Terlebih, Kak Nida. Di hari kedua aku kena diare, diduga karena perut kaget dengan makanan pedas di hari pertama. Lombok memang identik dengan makanan pedas, lebih lagi sambal plechingnya. Saat morning exercise, perutku terasa nggak enak. Dengan sangat baik hati dan sigap, Kak Nida alias Dokter Nida (mulai 26 Juli 2018) membantuku, yakni menemaniku keluar dari rombongan dan lari duluan bergegas ke toilet. Setelahnya, Kak Nida memintakan izin ke panitia agar aku tidak ikut senam dahulu sebab perutku masih kurang enak. Sejak pagi itu, pagi keduaku di Lombok, aku merasa lebih nyaman dan bersyukur. Yup, I found a new friend. Again.

Hari ketiga, keempat, hingga hari kedelapan, ikatan di dalam kelompokku -dan kelompok lainnya- semakin kuat. Kekeluargaannya semakin terasa. Tak hanya itu, aku pun menemukan sahabat baru; kesalahan. The event, the people in it, my group espescially, told me that making mistake (of course not in purpose) is not a bad thing. Trying to do something new, being brave about it, and then making mistake, is the cycle of life. You cannot avoid it, although you can minimize the errors. Making mistakes is part of growing. I knew I shouldn't have worried it too much. I knew I should've got along with it. Chill, be friend with mistakes.

Post kali ini mungkin terbilang panjang dan kurang terarah, hehe. Aku ingin menggarisbawahi beberapa hal. Aku sangat bersyukur bisa bertemu dengan sahabat-sahabat di sini. Tidak hanya soal relasi yang lebih besar, tetapi juga wawasan dan persepsi yang lebih luas, sikap yang lebih dewasa, awareness yang meningkat, dan cerita yang lebih banyak. Sahabat-sahabat baru tidak semata-mata hanya orang-orang hebat yang baru kutemui, tetapi juga ragam hal yang kudapat dari orang-orang hebat tersebut, serta diriku yang baru. Sebab, aku adalah sahabat untuk diriku sendiri. Setidaknya, aku harus bisa mengandalkan diriku dan aku harus memahami diriku.

Comments