Skip to main content

Menjadi Sarjana Teknik Biomedis ITB

Cerita perjalanan tugas akhir tentu akan menggantung tanpa sepenggal kisah mengenai kehidupan menjadi sarjana, atau lebih tepatnya fresh graduate. Perlu diingat, aku dinyatakan lulus dan disematkan menjadi Sarjana Teknik Biomedis ITB pada bulan Oktober lalu. Maka, tulisan ini akan menggambarkan seorang sarjana yang benar-benar baru menetas --murni opini dan pengalaman pribadi.

Disclaimer lainnya, tulisan ini juga ditujukan untuk mengklarifikasi tulisanku yang berjudul Lulus dari Biomedis, Menjadi Tangis atau Manis?. Sebab, banyak (sekitar 7 orang, dan menurutku itu banyak) yang mengajukan pertanyaan lebih lanjut serta stance-ku atas pilihan memilih Teknik Biomedis sebagai program studi yang akan dipelajari selama empat tahun lamanya.

Foto toga bersama temen-temen Biomedis ITB

Mari kita mulai dari mengapa dulu aku memilih Teknik Biomedis. Teknik Biomedis ITB, atau lebih tepatnya STEI ITB, adalah pilihan impulsif yang baru terpikir di kelas 12 akhir semester 1. Dari SMP sampai SMA, aku selalu diharapkan oleh keluarga untuk menjadi dokter. Saat SD kelas 4, aku pernah bermimpi memiliki rumah sakit yang menerapkan sistem subsidi silang sehingga dapat meringankan, bahkan membebaskan, biaya orang-orang dengan ekonomi ke bawah. Memasuki bangku SMA aku menyadari bahwa aku tidak suka biologi, kemampuan visualku pun tidak bagus, serta aku kerap merasa panik. Meskipun aku tahu bahwa semua itu bisa dibiasakan dan dilatih, aku tetap bersikukuh dengan ketidakpercayaan diriku untuk mengambil kedokteran sebagai jurusan kuliah.

Kemudian, aku menyadari fakta bahwa aku tidak menonjol di mata pelajaran apapun. Semuanya ada di rata-rata. Dari situ lah aku memutuskan bahwa aku harus mengambil jurusan kuliah yang menyabet seluruh mata pelajaran dan aku menemukan jurusan baru yang mampu memfasilitasi keinginanku tersebut, yaitu Teknik Biomedis.

Lalu, apakah keinginanku empat tahun lalu tersebut terwujud? Jawabannya adalah ya, hampir semua ilmu (di kelas IPA) aku pelajari. Mulai dari biologi, fisika, kimia, sampai matematika, ditambah programming dan elektronika. Teknik Biomedis ini memang terkesan spesialis, namun kenyataannya di sini terasa seperti generalis yang mempelajari banyak bidang di bagian permukaannya.

Untuk kasusku, aku cukup gelagapan menerima semuanya. Tetapi, faktor utamanya adalah aku yang malas belajar hehehe. Toh, teman-temanku pada lancar dan mendapatkan kompetensi yang diharapkan. Alasanku malas belajar adalah karena di tiga tahun pertama aku merasa salah jurusan. Pikirku, saat itu, program studi ini masih belum mampu memberikan gambaran nyata bidang-bidang apa yang bisa kami, lulusannya, tekuni. Aku tersesat dan hilang arah. Aku kerap mempertanyakan hal-hal seperti mau jadi apa aku ke depannya. Mungkin karena masih baru, ke depannya pasti ada perkembangan-perkembangan yang lebih baik. Atau mungkin memang industrinya saja yang belum siap dan kami kami ini lah yang harus menyiapkan. 

Atau mungkin salahku juga, sih, ketika memilih jurusan hanya berpaku pada keinginan. Belum cukup matang untuk menjadi visioner memikirkan kebutuhanku dan kebutuhan dunia di tahun-tahun yang akan datang. Tetapi, pada tingkat akhir perkuliahan, di tahun 2019-2020, aku mulai bisa melihat beragam potensi industri kesehatan di Indonesia. Terlebih, pandemi Covid-19 sukses membuka ruang untuk ide-ide baru demi menyelesaikan masalah (kesehatan) umat manusia.

Apa yang sudah berlalu biarkan berlalu, aku yakin tidak pernah menyesal dengan segala keputusan yang telah kuambil. Menurutku, mengambil Teknik Biomedis sebagai jurusan kuliahku bukan hal yang buruk. Banyak yang kupelajari, dan aku telah menemukan part yang kugemari. Entah untuk saat ini saja, entah untuk seterusnya.

Menjadi sarjana, dalam hal ini sarjana teknik biomedis, itu tantangan. Pertama, orang-orang di Indonesia masih butuh penjelasan lebih jauh ketika membaca nama jurusan ini, "Teknik Biomedis itu apa? Ngapain aja? Belajar apa?". Jika kita bisa menerangkan hal tersebut --yang bahkan mungkin masih kita pertanyakan juga- sampai orang lain mengerti, artinya kemampuan komunikasi kita sudah baik. Tantangan kedua merupakan dampak dari tantangan pertama. Karena orang-orang tidak tahu, kita harus memiliki softskills dan hardskills lain untuk menonjolkan diri, yang relevan tentunya. Jika kita mampu menonjolkan diri dibanding sarjana-sarjana pada umumnya, artinya kita berbeda dan mampu beradaptasi. 

Ketiga, harus terus belajar dan berinovasi adalah mutlak. Teknologi yang super cepat berganti serta kebutuhan dan masalah kesehatan terus bertambah dan beraneka ragam melarang kita untuk berhenti mengembangkan diri. Tantangan keempat mungkin akan kujadikan sebagai tantangan terakhir di tulisan kali ini, walaupun aku tahu tentu tantangannya pasti lebih banyak dari apa yang telah kusebutkan. Harus kuat karena berkarir di industri kesehatan itu nggak mudah. Baik memulai, membenahi, mendisrupsi, maupun mengabdi di hal-hal yang menyangkut kesejahteraan hidup manusia itu butuh energi ekstra untuk berempati dan bertahan alias konsisten. Kalau pun memilih tidak melanjutkan berkarir di industri kesehatan, tetep harus kuat juga buat banting stir.

Menurutku, sekaligus menjadi catatan buatku, menjadi sarjana teknik merupakan fase baru dalam hidup. Aku harus menikmati segala prosesnya, berjuang untuk mencapai hal-hal yang aku percayai sebagai mimpi. Hasilnya tentu tidak pasti, mungkin kadang akan terasa mengkhianati, tapi aku nggak pernah tahu, kan, bisa saja "pengkhianatan" itu akan diikuti ihwal-ihwal yang lebih baik lagi. 

Nggak ada jurusan yang baik atau tidak baik. Strategi kita lah yang tepat atau tidak tepat, sebab masing-masing dari kita pasti punya mimpi pribadi yang berbeda dari orang lain. Kalau pun strateginya kurang tepat di awal karena sempat tersesat, nggak apa-apa. Hal yang kita sebut kesia-siaan dan penyesalan itu akan jadi pengalaman. Dari sana kita akan belajar buat lebih cerdas dan menggali ilmu dan pandangan yang lebih banyak lagi supaya kesalahan-kesalahan tersebut nggak terulang.

Dulu aku berpikir, setelah perkuliahan ini usai, kewajiban belajarku pun selesai. Akhir-akhir ini aku sadar bahwa proses belajar itu nggak akan pernah tuntas, sekali pun kita sudah jadi sarjana. Sekali pun kita sudah mendapat gelar-gelar lainnya. Menjadi sarjana merupakan gambaran kecil yang menunjukkanku bahwa life is a journey of learning.

Comments

  1. Waaa...Kakk makasii bgt, tulisan ini ngeyakinin aku buat milih teknik biomedis, ditengah banyak orng yg bertanya - tanya dan mengunderrated pilihanku ini :'( Sukses selalu yaa kaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semangat ya apapun pilihan dan konsekuensi yang akan kamu hadapi esok hari!

      Delete
  2. Makasih banget Kak. Makin yakin dengan jurusan teknik biomedis. Hopefully, aku bisa belajar banyak dari teknik biomedis.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apapun jurusannya, semoga senantiasa ada keberkahan di dalamnya. Semoga sukses!

      Delete
  3. Makasi kak aku dari Aceh jauh ke luar kota biar bisa masuk teknik biomedik soalnya di Aceh gak ada kak:(((

    ReplyDelete
  4. Hai kak aku Rara dari sultra . Dan bertekad pengen masuk juga di jurusan teknik biomedis, Kalo boleh tau pelajaran apa saja ya yg harus di lalui kalau lewat jalur SBMPTN kak?

    ReplyDelete

Post a Comment