Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2019

Menjadi Vulnerable

"Gue selalu mengantisipasi the worst case that could happen ." "Gue selalu berusaha berpikir buruk terhadap orang-orang, dan berbagai situasi." "Gue selalu mempersiapkan diri untuk dilukai, dibantai." Tiga ungkapan tersebut kurang lebih menggambarkan kondisi kita sehari-hari. Kita kerap menghindari dari perasaan kecewa atau sedih, apalagi kalau sebabnya adalah hal-hal yang, menurut orang-orang, sepele. Kita tidak mau dianggap lemah. Kita tidak mau mengalami sakit hati. Kita dihasut untuk takut menjadi seorang yang  vulnerable . Nuhha Thalib, cofounder Rasi Indonesia , selaku salah seorang pembicara dalam kelas MetaTalk-Humanity  stated that being weak is not as same as being vulnerable. Weak and vulnerable are different. Weak means lacking the power to perform physically demanding tasks, easily damaged, or liable to break. While, vulnerable means susceptible to physical or emotional attack or harm. Benar, masih tentang kelas MetaTalk-Humanity. Ini

Berbicara Sedikit tentang Empati

Ting . Ponsel Bila berbunyi, pemberitahuan pesan masuk muncul. Ia membuka aplikasi LINE, dan membalas pesan tersebut. Media sosial memang candu, jangan heran jika Bila meneruskan kegiatannya di dunia maya dengan scrolling linimasa LINE. Tiba-tiba, ia pun terhenti pada sebuah video, durasinya satu menit. Matanya dalam semenit pun menjadi berkaca-kaca. "Heh," ujar seseorang di belakang sambil memegang pundaknya. Bila tidak tau siapa orang yang membuat dirinya kaget. Ia tak berani membalikkan tubuhnya. Bila malu, sebab matanya berkaca-kaca seperti orang ingin menangis. Bila seakan-akan merasa lemah. "Lah, lo nangis Bil?" tanyanya terheran-heran. Kini, Bila dapat melihat ada dagu laki-laki di depan matanya persis dengan kulit sawo matang. Naik sedikit dari dagu, bibirnya menyungging sedikit dengan geli. Bila protes sambil menyembunyikan air yang menggenang cukup lama di mata. Mengusahakan sebisa mungkin agar air yang tergenang tidak jatuh. "Nggak lah! Ngap

Perkara Menjadi Manusia

Aku sudah hampir 21 tahun menjajaki kehidupan. Banyak proses yang kulalui, itu pasti. Kadang tidak terasa, kadang rasanya luar biasa lama. Aku telah berproses cukup banyak. Dari yang tidak bisa berjalan, sampai sekarang.. jalan sedikit saja kecapekan karena tidak pernah olah raga. Dari yang hanya bisa merengek, sampai menjadi orang yang suka mengeluh. Namun, apakah 21 tahun hidupku ini sudah benar-benar hidup? Apakah aku memang seorang manusia yang berusia 21 tahun? Bagaimana jika salah? Memangnya apa sih manusia itu? Apa yang membuatku pantas disebut manusia? Apakah manusia harus memiliki rasa kemanusiaan? Memangnya apa itu kemanusiaan? Miris memang, sudah 21 tahun hidup tetapi masih tidak mengerti manusia itu apa. Sudah 21 tahun disebut manusia, tetapi masih tidak tahu apakah dirinya sendiri termasuk manusia. Aku pun mencoba mencari tahu sedikit tentang hal-hal berkaitan dengan ini, yakni melalui kelas MetaTalk Humanity. Kelas diisi oleh 20 peserta, 3 pembicara, 1 pembawa acar

Di Balik "Thank You"

" Thank you ," "Hah? Kenapa thank you?" "Nggak papa, thank you aja." "Ah, kaku amat sih." "Biar cringe aja." "Hahahaha. Oh, ya sudah." Kamu tahu, sebetulnya jawabannya bukan hanya kata cringe . Karena memiliki teman baik sepertimu adalah hal yang sangat ku syukuri. It was actually a thank you for everything. Thank you for being my best and sweet friend. Even though, annoying is irresistable. Thank you for listening me, understanding me, and asking whether i am okay or not. Thank you for keeping up with me, being there when i need someone to tell to. Thank you for making me laugh and boosting my mood. Thank you for giving your advice and perspective. Thank you for doing your best in every things you do. Thank you for inspiring me, a bit. Thank you for your presence. I couldn't ask for a better friend. It sounds cringe, indeed. Because it supposed to be cringe, as what i said.

Menyikapi Orang Baik

Pekan ini kuanggap sudah berakhir, sebab tiga hari ke depan tidak ada kuliah alias libur. Pekan yang cukup melelahkan karena dihadang ujian-ujian. Syukurlah telah terlalui, meski pekan depan masih ada sisa-sisa ujian yang bisa jadi tidak kalah melelahkan. Aku seharusnya berusaha menulis esai untuk UTS mata kuliah Jurnalisme Sains dan Teknologi, tetapi mood -ku untuk itu masih tak kunjung ketemu. Entahlah, doakan saja aku segera kembali ke level kerasionalanku, sebab akhir-akhir ini aku merasa menjadi seorang yang sangat irasional. Ngomong-ngomong tentang irasional, aku ingin menceritakan suatu kisah temanku -yang juga sempat menjadi kisahku. Kisahnya mengandung pemikiran-pemikiran yang kurang rasional, bagiku. Sebelum bercerita terkait ketidakrasionalan tersebut, aku akan mengenalkan kalian kepada kata rasional terlebih dahulu. Sebelumnya, iklan sedikit, aku sarankan untuk tidak mencari tahu korelasi foto dengan tulisan di sini. Mari, kembali ke bahasan irasional. Menurut KBBI d