Skip to main content

Perkara Menjadi Manusia

Aku sudah hampir 21 tahun menjajaki kehidupan. Banyak proses yang kulalui, itu pasti. Kadang tidak terasa, kadang rasanya luar biasa lama. Aku telah berproses cukup banyak. Dari yang tidak bisa berjalan, sampai sekarang.. jalan sedikit saja kecapekan karena tidak pernah olah raga. Dari yang hanya bisa merengek, sampai menjadi orang yang suka mengeluh. Namun, apakah 21 tahun hidupku ini sudah benar-benar hidup? Apakah aku memang seorang manusia yang berusia 21 tahun? Bagaimana jika salah?

Memangnya apa sih manusia itu? Apa yang membuatku pantas disebut manusia?
Apakah manusia harus memiliki rasa kemanusiaan? Memangnya apa itu kemanusiaan?

Miris memang, sudah 21 tahun hidup tetapi masih tidak mengerti manusia itu apa. Sudah 21 tahun disebut manusia, tetapi masih tidak tahu apakah dirinya sendiri termasuk manusia.

Aku pun mencoba mencari tahu sedikit tentang hal-hal berkaitan dengan ini, yakni melalui kelas MetaTalk Humanity. Kelas diisi oleh 20 peserta, 3 pembicara, 1 pembawa acara, dan beberapa panitia. Salah satu pembicara di kelas tersebut bernama Adam Alfares, cofounder dari sebuah platform kontemplasi, menurutku, bernama Menjadi Manusia.
Sumber: menjadimanusia.id
"Apa yang Menjadikan Kita (Seorang) Manusia?"
Kak Adam bercerita bahwa ada anak umur 5 tahun jago main piano. Ada juga anak yang ikut olimpiade fisika atau matematika. Tapi, beberapa lainnya bahkan nggak tahu bakatnya apa dan mau jadi apa, termasuk dirinya -Kak Adam. Dari kasus ini, ia pun menyimpulkan bahwa ada banyak orang yang merasa seperti dirinya, tidak memiliki bakat apa-apa.

Masalah manusia nggak spesial, banyak orang yang pernah merasakan apa yang kita rasakan. Hal yang perlu di-highlight di sini ialah manusia tidak pernah benar-benar sendiri. Ada "teman" kita, di seberang sana yang merasakan dan/atau mengalami hal yang sama. Tidak usah dipaksa kalau memang belum bisa percaya.

Kedua, manusia bisa melihat masa depan yang belum terjadi. Manusia bisa bermimpi. Aku pernah melihat diriku sebagai seorang penulis di masa depan. Aku pun pernah melihat diriku, tentu di masa depan, mengenakan jas putih selayaknya dokter. Atau mengenakan kemeja lapangan dan membawa kamera, buku tulis, serta perangkat rekam dan duduk menghadiri konferensi pers. Kak Adam membuyarkan lamunanku dengan konsep abstrak yang dia sampaikan. "Manusia bahkan bisa bermimpi untuk menjadi manusia," begitu intinya. Kenapa kita ingin menjadi manusia? Memangnya sekarang kita bukan manusia?

Manusia itu memang sukanya aneh-aneh, atau sebut saja unik supaya lebih halus. Sebab, manusia kerap mempertanyakan bagaimana menjadi manusia.

Untuk menjadi manusia, ada yang menyatakan bahwa kita harus menjadikan dunia lebih baik. Meskipun, manusia juga lah yang gemar merusak mengeksplorasi dunia untuk memperoleh kebutuhannya. Manusia berkapasitas mengubah dunia, bisa menjadi lebih baik atau buruk.

Ada yang berkata lain lagi. Menjadi manusia artinya memiliki empati. Empati ialah sebuah kondisi ketika kita dapat merasakan apa yang orang lain rasakan. Mungkin, tak hanya orang lain, tetapi juga makhluk hidup yang lain. Lebih jauh dari empati, manusia bahkan sering menyamakan kondisi hewan, misalnya, dengan manusia itu sendiri. Anjing disebut hewan yang setia, kucing disebut hewan yang pemalas. Padahal, setia dan pemalas adalah salah dua sifat manusia.

Ada pun, untuk menjadi manusia, Kak Adam mendefinisikannya sebagai suatu proses. Kita gagal, kemudian kita bikin koma ",", kita gagal lagi, bikin koma lagi, gagal lagi, tambah koma lagi. Begitu terus sampai mati. Menjadi manusia memiliki interpretasi yang beragam, setiap orang berhak memiliki definisi manusianya sendiri.

Terlepas dari itu, menurut Kak Adam, hal yang seharusnya ditanyakan bukan apa yang menjadikan kita (seorang) manusia?, melainkan apakah kita mau menerima tanggung jawab bahwa dunia di tangan kita (manusia)?


Sumber: dokumen presentasi Adam Alfares pada MetaTalk-Humanity

Comments