Skip to main content

Menyikapi Orang Baik


Pekan ini kuanggap sudah berakhir, sebab tiga hari ke depan tidak ada kuliah alias libur. Pekan yang cukup melelahkan karena dihadang ujian-ujian. Syukurlah telah terlalui, meski pekan depan masih ada sisa-sisa ujian yang bisa jadi tidak kalah melelahkan. Aku seharusnya berusaha menulis esai untuk UTS mata kuliah Jurnalisme Sains dan Teknologi, tetapi mood-ku untuk itu masih tak kunjung ketemu. Entahlah, doakan saja aku segera kembali ke level kerasionalanku, sebab akhir-akhir ini aku merasa menjadi seorang yang sangat irasional.

Ngomong-ngomong tentang irasional, aku ingin menceritakan suatu kisah temanku -yang juga sempat menjadi kisahku. Kisahnya mengandung pemikiran-pemikiran yang kurang rasional, bagiku. Sebelum bercerita terkait ketidakrasionalan tersebut, aku akan mengenalkan kalian kepada kata rasional terlebih dahulu. Sebelumnya, iklan sedikit, aku sarankan untuk tidak mencari tahu korelasi foto dengan tulisan di sini.

Mari, kembali ke bahasan irasional. Menurut KBBI daring, rasional merupakan kata sifat yang memiliki arti menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal. Sebaliknya, irasional artinya tidak berdasarkan akal (penalaran) yang sehat. Nah, aku berani menyebut bentuk pemikiran temanku (juga diriku) bersifat irasional, sebab aku  merasa bahwa pemikiran tersebut tidak lah sehat.

"Aku merasa kayak nggak pantes gitu, Ris. Soalnya dia baik banget, sedangkan aku masih kekanak-kanakkan dan moody. Mudah tersulut pula emosinya," ungkap seorang teman tentang cerita asmaranya padaku. Aku pun membalasnya dengan pendapatku yang kurang lebih terdengar seperti ini. Kita seharusnya jangan pernah mendewakan kebaikan orang lain.

Benar, seseorang bisa sebegitu baiknya kepada kita. Benar, seseorang bisa melakukan apapun yang membuat kita senang setiap saat. Namun, hal-hal tersebut bukan berarti menunjukkan bahwa kita harus memuja-muja kebaikannya terlebih merendahkan diri kita sendiri atau merasa tidak pantas "berkontribusi" dalam hidupnya, menjadi apapun itu.

It is true, it always feel weird every time we meet people who are really good and kind-hearted. Then, we sometimes wonder what exactly they want to, like "Do they have other intentions?" or "Do they want something from us?". Bersikap skeptis itu perlu, tetapi terlalu skeptis juga tidak baik karena memang orang-orang yang kita sebut "tulus" ada. Tidak tahu berapa persen keberadaannya dalam populasi dunia, namun menurutku mereka ada. Setidaknya, tulus untuk saat itu saja.

Lalu, sebenarnya bagaimana kita harus menyikapi orang-orang baik ini?
Manusia memang makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Sang Mahakuasa, kita boleh sombong akan hal itu. Kita punya semuanya, khususnya akal pikiran yang melahirkan keputusan-keputusan dalam hidup kita. Tetapi, aku merasa kita tidak boleh melihat kesempurnaan mutlak pada manusia, apalagi diri kita, karena hanya Dia lah yang Mahasempurna. Masing-masing individu memiliki kekurangan dan keburukan yang terkadang dapat mereka sembunyikan dengan baik. Sepandai-pandainya tupai melompat, nanti akan terjatuh juga. Sepandai-pandainya seseorang menyembunyikan sesuatu, nanti akan terungkap juga. Sebaik-baiknya seseorang menutupi kekurangannya, nanti akan ketahuan juga. Oh iya, maksud kekurangan di sini bukan aib ya. Dan, kekurangan idealnya bisa kita kelola untuk menjadi suatu identitas yang memperkuat karakter kita.

Mungkin tidak semua orang dengan sengaja berniat untuk menyembunyikan kekurangannya. Tetapi, hal yang perlu diperhatikan di sini ialah kita harus percaya bahwa setiap insan memiliki kekurangan. Kita harus percaya di balik kesuksesan seseorang, selain perjuangannya yang gigih, ada kekurangan yang melengkapi kisah kompleksnya. Melihat kekurangan orang lain atau mempercayai eksistensinya tidak berarti kita boleh merendahkan atau menghakimi dirinya. Kekurangan sejatinya ada untuk mengingatkan kita bahwa kita tidak boleh mendewakan orang lain, seperti memuja-mujanya dengan berlebihan.

Kita boleh "menikmati" ciptaan-Nya, in a good way. Tetapi, kita tidak boleh semata-mata menaruh harapan besar tanpa menyisakan antisipasi (persiapan kekecewaan), sebab hanya kepada Tuhanmu lah hendaknya engkau berharap. Benar begitu, kan?

Bersyukur akan keberadaannya yang menginspirasi, berlega hati atas kehadirannya yang melengkapi, dan berterima kasih atas kebaikannya yang mewarnai hari-hari. Ketiga hal itu boleh dilakukan, malah sudah seharusnya dilakukan. Tetapi, jangan sekali-sekali berpikir bahwa pihak tersebut sangat lah baik sampai menimbulkan harapan yang begitu tinggi. Kita harus tau batas, kita harus menilai secara objektif. Manusia tempatnya salah, dan berharap kepada manusia bisa saja menjadi sumber kekecewaan. Satu lagi, manusia dapat berubah sewaktu-waktu menjadi apapun yang ia mau.

Maka dari itu, jangan minder guys. Semua orang punya kekurangannya masing-masing, sudah seharusnya kita dilahirkan untuk melengkapi satu sama lain. Sudah seharusnya kita saling suportif dan mendorong orang-orang di sekitar kita untuk senantiasa memperbaiki diri. Begitu pula orang-orang di sekitar kita, sudah seharusnya mereka mendorong kita untuk tetap wawas dan memperbaiki diri. Semua orang akan menjadi buruk pada waktunya. Hanya saja, keinginan dirinya untuk memperbaiki diri lah yang menjadikan keburukan itu bersifat sementara atau selamanya.

Manusia juga akan berubah pada saatnya, sebab ia selalu beradaptasi. Baik beradaptasi dengan lingkungannya, pekerjaannya, statusnya, atau pun usianya. Seseorang bisa saja begitu baik pada kita di suatu waktu, kemudian dia berubah begitu saja secara tiba-tiba. Tidak harus ada alasan kuat yang logis untuk mendasari perubahan itu. Jika ada, aku rasa kita pun tidak berhak tahu. Namun, kita wajib menerimanya.

That is sucks, i know. Because life is, to everyone.
Di samping itu, aku pikir itu adil. Mereka baik pada kita di awal, sebut saja kita merasa tidak pantas menerimanya sehingga kita berupaya agar kita menjadi pantas. Suatu hari, mereka bertindak di luar ekspektasi, tak peduli disengaja atau tidak. Hidup berputar, asumsikan itu lah waktu kita untuk bersikap baik pada mereka. Alhasil, kita tidak berutang budi atas kebaikannya.

Jadi, jangan sekali-kali kita berpikir bahwa kita tidak pantas menerima suatu kebaikan atau bahwa seorang yang begitu baik tidak seharusnya hadir di hidup kita.
That is wrong. We deserve that, it could be what the good things we have done in the past or what we will face in the future. Do not mind to ask what you want and be who you really are. But still, you have to reflect all actions you take and keep improving yourself.

Selamat meneruskan kehidupan!

Comments

Post a Comment