Skip to main content

Berbicara Sedikit tentang Empati


Ting. Ponsel Bila berbunyi, pemberitahuan pesan masuk muncul. Ia membuka aplikasi LINE, dan membalas pesan tersebut. Media sosial memang candu, jangan heran jika Bila meneruskan kegiatannya di dunia maya dengan scrolling linimasa LINE. Tiba-tiba, ia pun terhenti pada sebuah video, durasinya satu menit. Matanya dalam semenit pun menjadi berkaca-kaca.

"Heh," ujar seseorang di belakang sambil memegang pundaknya. Bila tidak tau siapa orang yang membuat dirinya kaget. Ia tak berani membalikkan tubuhnya. Bila malu, sebab matanya berkaca-kaca seperti orang ingin menangis. Bila seakan-akan merasa lemah.

"Lah, lo nangis Bil?" tanyanya terheran-heran. Kini, Bila dapat melihat ada dagu laki-laki di depan matanya persis dengan kulit sawo matang. Naik sedikit dari dagu, bibirnya menyungging sedikit dengan geli.

Bila protes sambil menyembunyikan air yang menggenang cukup lama di mata. Mengusahakan sebisa mungkin agar air yang tergenang tidak jatuh. "Nggak lah! Ngapain gue nangis coba,".

Laki-laki itu terus menggoda Bila, dan mengintip apa yang ada di ponsel Bila. "Ya kan dikira nangis gara-gara nonton video sedih, Bil."

"Heh, siapa yang ngizinin lihat HP gue?!" Lagi-lagi, Bila protes. Ia pun segera menaruh ponselnya di dalam totebag.

Aku memandang mereka dari, mungkin, 2 meter. Entahlah, aku buruk dalam mengira-ngira ukuran -apapun itu, termasuk jarak. Tetapi, satu yang pasti dan seharusnya kalian percayai adalah aku tau Bila menangis. Matanya berkaca-kaca, sebab tak kuasa menahan rasa pedih yang dialami tokoh di video yang ia tonton sebelum teman -atau bukan- laki-lakinya menghampiri dan membuat dirinya kaget.

Aku pernah mengalaminya. Menonton video sedih, katakan saja begitu, kemudian menangis.  Katanya, itu empati. Kita berempati pada cerita atau lakon di video tersebut. Berempati bukan berarti cengeng atau lemah. Berempati artinya membaca emosi orang lain. Dalam kasus ini, kita membayangkan perasaan sang tokoh, dan membiarkan diri kita seakan-akan terbelenggu dalam kisah yang sama.

Dalam kelas MetaTalk-Humanity, aku memperoleh suatu definisi tentang empati. Empathy is the ability to imagine what they're feeling, by "putting yourself in their shoes". Itu lah yang dikatakan oleh Kak Indri, cofounder saveyourselves.id.

Aku akan coba perkenalkan saveyourselves.id atau Save Yourselves sekilas. Sejujurnya, aku baru mendengar nama Save Yourselves saat kelas kemarin, pada Jumat, 15 Maret 2019. Save Yourselves menyebut diri mereka sendiri sebagai sebuah komunitas kesehatan mental. Diprakarsai oleh dua bersaudara Rumamby, Indri Mahadiraka Rumamby dan Riva Respati Rumamby, komunitas ini memberikan tiga layanan utama, yakni: edukasi, supportive counseling, dan suicide prevention.

Lika-liku dalam kehidupannya membuat Kak Indri -juga sang adik tentunya- merasa berkewajiban untuk mendirikan komunitas Save Yourselves. Sebab, baginya, permasalahan-permasalahan yang ditemukan dalam hidup tidak semata-mata diatasi dengan satu cara saja. Misal, ada seorang teman perempuan yang curhat dengan kita kalau ia ingin kurus, sampai-sampai kalau tidak kunjung kurus ia ingin bunuh diri. Biasanya, kita dengan terburu-buru langsung menjawab, "Ya olah raga aja," atau "Diet, makan malamnya dikurangi."

Ternyata, nggak semua orang butuh jawaban itu. Meskipun tujuannya baik, nggak semua kondisi mengharapkan jawaban teknis seperti itu. Ketika kita menggunakan empati dalam pemecahan masalah, atau bahasa kerennya empathy in problem solving, ada dua outcome yang diharapkan: technical dan mental. Proporsinya masing-masing adalah 20% dan 80%.

Kembali ke curhatan teman yang ingin kurus, jawaban kuno seperti "olah raga lah" atau "diet lah" termasuk dalam technical outcome. Jawaban "iya kurusin aja, demi kesehatan juga" juga termasuk technical outcome. Lalu, bagaimana dengan mental outcome? Sangat sederhana; cukup dengan kata "kenapa?".

Iya, "Kenapa lo pengen kurus?", "Kenapa lo nangis?", dan kenapa-kenapa yang lain. Kata kenapa ini sangat jitu, sebab dapat menggali permasalahan secara lebih dalam. Alhasil, kita pun dapat mengetahui akar masalahnya. Jika akar masalah sudah ditemukan, pemecahannya pun akan lebih efektif. Kak Indri juga mengemukakan bahwa dia percaya manusia tidak bodoh. Setiap manusia sudah memiliki jawaban-jawaban untuk pertanyaan dan permasalahan mereka. Manusia sudah tahu apa yang harus dilakukannya sehingga mereka tidak (terlalu) butuh dengan solusi-solusi teknis. Eits, tapi nggak ada salahnya kok ngasih solusi-solusi teknis. Hanya saja, porsinya diperhatikan.

Kadang, manusia hanya butuh ditemani dan didengarkan, baru kemudian dibantu. "They are so many people suffering in silence. But, actually, there is a lot of people wants to help," terang Kak Indri saat itu. Ia pun menambahkan bahwa secara fundamental, manusia memang egois (selfish). Tetapi, sebetulnya, setiap manusia memiliki empati secara alami. Hanya saja, empati tersebut perlu ditekankan.

Apa yang dirasakan Bila, juga aku; menangis saat menonton video tidak semata-mata konyol. Hal tersebut bisa jadi bagian dari empati. Mungkin begitu lah salah satu cara bagaimana "mengundang" empati datang untuk mengiringi kita. Mungkin begitu lah bagaimana empati bekerja.

Anyway, cerita yang jadi prolog di sini nggak nyambung sama siapapun ya alias murni karangan hehe. Semangat melanjutkan kehidupan, jangan lupa terus diasah empatinya ya!

Comments