Skip to main content

Menjadi Vulnerable

"Gue selalu mengantisipasi the worst case that could happen."
"Gue selalu berusaha berpikir buruk terhadap orang-orang, dan berbagai situasi."
"Gue selalu mempersiapkan diri untuk dilukai, dibantai."

Tiga ungkapan tersebut kurang lebih menggambarkan kondisi kita sehari-hari. Kita kerap menghindari dari perasaan kecewa atau sedih, apalagi kalau sebabnya adalah hal-hal yang, menurut orang-orang, sepele. Kita tidak mau dianggap lemah. Kita tidak mau mengalami sakit hati. Kita dihasut untuk takut menjadi seorang yang vulnerable.

Nuhha Thalib, cofounder Rasi Indonesia, selaku salah seorang pembicara dalam kelas MetaTalk-Humanity stated that being weak is not as same as being vulnerable. Weak and vulnerable are different. Weak means lacking the power to perform physically demanding tasks, easily damaged, or liable to break. While, vulnerable means susceptible to physical or emotional attack or harm.

Benar, masih tentang kelas MetaTalk-Humanity. Ini adalah topik terakhir, dengan judul The Power of Vulnerability. Topik terakhir dibawakan oleh Kak Nuhha.

Kita mungkin takut sakit hati sehingga kita berusaha melindungi diri sendiri. Kita secara tidak sadar, atau sadar mungkin, juga sering memasang "tameng" yang menciptakan ekspektasi bahwa kita kuat sendirian dan kita telah dilindungi dari sakit hati. Padahal, ketika kita bertindak defensif yakni dengan memasang "tameng" tersebut, kita malah menjadi jauh dari orang-orang.

"Gue bisa sendiri kok." "Gue gak mau cerita sama siapa-siapa." "Gue takut dikecewakan orang lain."

Tiga kalimat di atas adalah tameng yang secara alamiah kita susun. Tameng yang sebenarnya menjauhkan kita dari dunia. Tameng yang dapat menyebabkan kita merasakan kesepian. Dan, kesepian itu bisa membahayakan.

Memang, membuka tameng dan membiarkan diri kita hancur bersamanya tidak selalu mudah. Memang, untuk menemukan orang atau tempat yang mampu melunakkan kita terkadang membutuhkan waktu yang lama. Memang, momen mengakui dan menyadari bahwa kita hancur tidak datang dengan tiba-tiba. Semua butuh usaha. Kalau kata pepatah moderen, "Bahkan untuk makan mie instan aja butuh direbus dulu."


Benar adanya bahwa usaha tidak selalu berhasil. Mencapai dan merasakan the power of vulnerability bisa jadi merupakan perjalanan yang panjang. Berdasarkan moto hidupnya Thomas Müller, my football-crush sepanjang masa, perjalanan panjang itu dimulai dari satu tahap (langkah). Atau dalam bahasa Jerman berbunyi, "Der weiteste Weg beginnt mit einem Schritt."

Tapi, teman-teman, menjadi vulnerable akan membuat kita lebih aware dengan diri kita sendiri, seperti dengan tahu keberadaan kita saat ini di mana (sudah sejauh mana). Emosi itu memang perlu dikontrol, jangan sampai berlebihan. Namun, memendam emosi juga kurang baik. Apalagi, membiarkan diri kita menciptakan asumsi-asumsi yang sebetulnya hanya bersumber dari keresahan pribadi. Alangkah lebih baiknya, emosi-emosi tersebut dikeluarkan dan diceritakan kepada orang yang kita percayai. Mungkin saja orang lain akan memiliki pandangan yang lebih positif dari kita. Alhasil, pikiran kita pun akan berubah menjadi positif dan emosi berhasil dikontrol.

Mengeluarkan dan mengontrol emosi secara tidak langsung melatih kita untuk menjadi perhatian kepada diri sendiri. Kita mengakui apa yang kita rasakan sehingga kita dapat peduli dengan diri sendiri. Belajar untuk menjadi self-aware itu penting. Membandingkan di mana posisi kita saat ini dan di mana posisi kita seharusnya. Atau bagaimana kita bersikap dengan bagaimana kita seharusnya bersikap. Kita juga bisa mengerti sudah sehebat apa diri kita dalam menahan atau melepaskan emosi dan berujung pada mencari tau sehebat apa kita seharusnya mengontrol emosi. Dengan mengetahui posisi nyata dan posisi seharusnya, kita akan tahu langkah apa yang harus kita ambil berikutnya. Untuk bergerak lebih jauh, kita harus menyadari sepenuhnya perjalanan kita sudah sejauh apa. Pernyataan Kak Nuhha yang ku-highlight pada bagian ini ialah, "In order to move on, you have to be vulnerable."

Untuk teman-teman yang sedang bergelut menghadapi bayangan kegagalan atau kesedihan di masa lalu, coba lah untuk lebih terbuka terutama pada diri sendiri. Dan, coba lah untuk lebih berani menjadi vulnerable.

Comments

  1. keren riris!
    setelah baca tulisanmu, aku jadi penasaran, kenapak ya banyak orang menjadi seperti yang digambarkan paragraf pertama?

    ReplyDelete

Post a Comment